Tuesday, 11 December 2012


EKONOMI ISLAM: SOSIALISME ATAU PASARAN BEBAS

INI persoalan yang pernah mengisi benakku: apa itu Islam dan apakah bentuk ekonominya?

Kurang lebih satu tahun yang lalu aku menyelip pandangan di halaman Kiyai Hussein Mohamad karena teringat kembali pergelutan intelektual zaman mudaku. Beliau berpendapat "Kesetaraan manusia d[an] Cinta adalah keniscayaan fundamental doktrin Tauhid (Ke-Esa-an Tuhan)". Ini mengundang komen bahawa justru sosialisme adalah ideologi yang asli dari Islam. Aku tidak menafikan kemungkinan ini karena al-Qur'an tegas menuntut kesetaraan (equality) sekurang-kurangnya di sisi Allah. Yang ini dilihat oleh aku sebagai satu kesempurnaan yang tidak bisa diatur dalam masyarakat manusia karena Tuhan sendiri, dalam ciptaanNya, menjadikan diversity, yaitu perbedaan di antara tiap satu makhluk manusia ciptaanNya, suatu sifat yang memang positif. Namun diversity ini telah membawa kepada kepincangan dalam mengatur masysrakat manusia karena diversity ditafsir sebagai inequality. Ini amatlah mengesalkan, tetapi ianya satu kebenaran yang tidak dapat dielak. Karena, menurut Voltaire, dependence atau keadaan tidak mandiri itu membawa kepada ketidaksetaraan (inequality). Dan ketidakmandiri-an itu timbulnya dari keadaan fizik atau mental yang lemah berbanding yang kuat -- apa adanya yang telah dianugerahkan oleh Sang Pencipta. Maka timbul ketidaksetaraan. Yang ini pula wujud dalam berbagai bentuk tergantung atas periode sejarah politik [tuan dan hamba; raja dan rakyat; majikan dan karyawan -- pendek kata, kaya dan miskin]. Keadaan ekonomi-politik masyarakat inilah yang jelas ditangani oleh al-Qur'an.

Yang demikian, kesetaraan itu tidak boleh tidak wujud hanya dengan keberadaan cinta. Tanpa cinta, yang lahir hanya kepincangan seperti yang dialami dari zaman ke zaman. Tetapi cinta yang amat dibutuhkan oleh umat manusia ini sepertinya tidaklah alami atau natural. Maka timbul persoalan tentang keadaan alami manusia, yaitu natural state manusia. Apakah dianya seperti kain putih yang polos (tabula rasa), yaitu dianya bisa dibentuk dengan didikan dan pengaruh lingkungannya, atau manusia wujud dengan naluri sedia ada? Menurut pendapat golongan Utilitarian [di sini aku lebih melihat dari segi falsafah ekonomi-politik karena yang dibahaskan di sini adalah ekonomi atau dalam kata pak kiyai, "...sosialisme Islam dan apakah konsep dan konstruknya"] manusia ini didorong oleh sifat rakus (self-interest) yang dari segi ekonomi bernyawa dalam kapitalisme atau free market , yakni pasaran bebas. Dari segi operasinya, bentuk ekonomi ini mementingkan keuntungan yang maksimal (profit maximisation) dan dinamisnya itu dengan sendiri diatur oleh keperluan menjana keuntungan.

Sebaliknya, sosialisme yang berpremiskan cinta sesama manusia menekankan pengagihan kekayaan dan bukan penjanaannya. Pengagihan kekayaan ini benar-benar idealisme yang sejajar dengan perutusan terkandung di dalam al-Qur'an. Dilemanya di sini adalah samada tanpa fokus kepada penjanaan kekayaan bisa ada pengagihan kekayaan yang seterusnya bisa mendirikan komunitas Islam yang teguh, gagah dan mantap karena ingat, Allah mewajibkan bahawa agamanya dipertahankan hingga ke medan perang jika perlu. Justru perekonomian adalah foundasi penting, yang didahului hanya oleh iman, yang bakal menjayakan agama Allah baik dari segi kemsayarakatan maupun politik. Inilah yang mendesak umat Islam supaya memikir kembali sistem perekonomian sedia ada dan menjawab persoalan, "Apakah itu ekonomi Islam?"

Ketidakmantapan sosialisme sebagai sistem ekonomi yang boleh membangunkan ummah yang agung mengalih perhatian kita kepada ekonomi pasaran bebas atau kapitalisme. Memang benar kapitalisme telah berjaya membangunkan negara yang kaya. Tetapi jika dilihat apa yang sedang melanda ekonomi-ekonomi Barat yang nyata adalah kepincangannya sistem yang berasaskan kepentingan diri ini. Dalam setiap pesaingan itu pasti ada yang menang dan ada pula yang kalah. Sistem perekonomian di mana persaingan menjadi mesin dinamo kekayaan tidak boleh tidak akan menyebabkan sebilangan besar masyarakat jatuh miskin dan golongan kaya hanya segelintir. Tanpa ada kebijakan ekonomi-politik negara yang dengan jelas bermaksud mengagih kekayaan (pribadi maupun negara) di antara rakyat seluruhnya, sistem kapitalisme tidak cocok dengan agama Allah.

Ternyata, Islam mempunyai ekonominya tersendiri, diatur untuk memanfaatkan kehidupan yang moral dan membolehkanmoral agency. Karena tanpa moral agency tidak harus manusia dihukum nanti di Padang Mahsyar. Nah, itu dia agama, untuk menentukkan bentuk akhirat. Justru ada yang baik dan ada yang jahat; yang pertama merupakan bekalan syurga dan yang kedua itu tidak bakal menjadi penghuni syurga.

Kekayaan di dalam al-Qur'an adalah anugerah Allah buat manusia tertentu dan kita yang sebaliknya diberi hidup sederhana tidak harus mengiri karena orang kaya itu diduga Tuhan dengan cara yang paling halus. Satu-satunya institusi ekonomi Islam adalah zakat. Bertujuan menghasilkan masyarakat manusia yang adil dan saksama, membayar zakat itu adalah amanah -- kekayaan sebagai titipan Allah -- yang besar yang jika disia-siakan akan membawa padah yang paling perih: khususnya ini adalah definisi penghuni neraka jahanam. Bagi seorang Muslim yang beriman amanah itu pasti akan membentuk pribadi yang baik, tidak mungkin tidak.

Sekaligus Allah sudah mencipta perekonomian yang paling sempurna:
§  al-Qur'an tidak mengharamkan kekayaan dan penjanaannya -- dengan itu sistem ekonomi yang ada yang paling hebat menjana kekayaan adalah pasaran bebas.
§  kekayaan di dalam al-Qur'an didefinisikan sebagai "titipan Allah" -- yang diberi kekayaan itu melalui usahanya yang sukses diwajibkan menunai fardhu kifayah (social obligations) berbentuk pembayaran zakat
§  institusi ZAKAT adalah institusi keuangan Islam paling agung karena penggunaannya ditetapkan tanpa bisa dibahaskan. [al-Qur'an: 9;60] "Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana."  Dan dari sinilah lahirnya unsur-unsur yang di dalam peradaban kontemporer dipanggil sosialisme.
§  pengharaman riba di dalam al-Qur'an adalah falsafah yang mendirikan kebenaran; yang menyerlahkan keadilan; dan, yang menggaris jalan tuju ummah. Kesimpulannya adalah bahawa al-Qur'an jelas mengharamkan eksploitasi antara manusia baik dari segi keuangan, jual-beli dan hubungan antara majikan dan karyawan. Dalam berinteraksi sesama manusia diharamkan segala keadaan yang berunsur mengambil kesempatan secara keji. Kesempatan itu bila dimanfaatkan untuk diri sendiri mestilah bersifat seimbang dan tidak keterlaluan. Pendek kata kesopanan itu adalah di dalam Islam, kemuliaan diri paling tinggi bagi menggapai sifat yang disempurnakan oleh Allah untuk manusia [al-Qur'an: 15;29]"Maka apabila Aku telah menyempurnakannya, dan Aku telah meniupkan ruh-Ku ke dalamnya..."
Pasti ada di antara para sarjana ekonomi yang tidak setuju karena telah terbukti bahawa sistem berhidu welfarism atau kebajikan membawa kepada kemalasan. Tetapi karena yang dibahaskan di sini adalah Ekonomi Islam, buntutnya iman itu tonggak kehidupan. Tanpa iman pengertian Islam itu hilang, kabur dengan sendirinya. Dalam menegakkan perekonomian Islam adalah penting setiap perbahasan dan pendapat itu berhujahkan iman dan berlandaskan ummah. Teorinya harus begini.

Namun dalam mempraktikan perekonomian Islam dampaknya adalah terbuka dan tidak terbatas hanya kepada ummah. Interaksi antara Muslim dan non-Muslim itu batasnya ditentukan oleh iman, yaitu samada iman terancam. Selainnya ditentukan oleh Social Contract yang menyawakan sesuatu masyarakat majmuk atau pluralis. [al-Qur'an; surah at-Taubah]  

PENUTUP
Justru di sini yang dimaksudkan dengan Ekonomi Islam itu adalah pereknomian yang paling sukses dalam menjana kekayaan ummah. Kemudian karena Allah mencipta mahkhluk manusia dalam penuh kepelbagaian, jadi konteks persoalan ekonomi harus berkisar sekitar mengatasi kemiskinan bagi mencapai kesetaraan. Zakat membolehkan pengagihan kekayaan titipan Allah dan haramnya riba itu kepada setiap orang yang beriman menentukan keadaan yang adil dan saksama tercapai. Dalam kehidupan yang serba mulia, umat manusia harus berusaha -- tidak boleh tidak -- sebagai bukti keimanannya. Jadi iman menentukan tidak ada yang rakus, tidak ada yang malas. Sadakah adalah kewajiban dalam memastikan adanya social safety net untuk yang tidak berupaya.
Waallahu'alam

Acknowledgement:
Terima kasih bangeth kepada Ayu Mardhatillah karena mengungkapkan bahasa saya yang jelek kepada Bahasa Indonesia yang serba indah ini.

No comments: